"Jika kau masih ragu tentang siapa dirimu, bertanyalah pada Tuhan. Dia sangat mengenalmu, sebab aku sangat sering menceritakan tentangmu kepada-Nya."
Kepada kamu,
Pria Pertama.
Kamu selalu saja bisa menjadikan sepikanku bahan sepikan balik. Dasar cerdas!
Seseorang pernah memberitahuku, "pria tampan membuka matamu, pria cedas membuka pikiranmu, pria sejati membuka hatimu."
Sayangnya aku lupa bertanya, bagaimana jadinya jika aku bertemu pria yang punya semuanya? ;)
Kepada kamu,
Pria Tunggal.
Kita selalu saja mendebatkan segala hal. Dan aku, (kau sudah tau) lahir sebagai pemenang.
Tapi tahukah kamu? Kadang, setelah aku memenangkan perdebatan kita yang bahkan tak kau lombakan. Aku tak henti berpikir.
Semua argumenmu seolah merasuk dalam aliran nadiku menuju cerebrum.
Dan demi semesta, aku benci mengakui bahwa kau, mungkin saja, separuh benar. (jangan paksa aku mengakuinya sekali lagi)
Kemudian diatas segala pesan samar yang kau sampaikan dalam surat terakhirmu,
Aku akan tetap menjadi aku yang mencintaimu tanpa pertimbangan.
Terlepas izinmu mengiringiku atau tidak.
Kepada kamu,
Pria Satu-satunya Nomor Satu.
Aku tersanjung sekaligus cemas atas isi suratmu kemarin yang mengatakan akulah petunjukmu.
Pertama, aku tersanjung.
Karena ternyata hatiku yang berujar "Tuhan, Kaukah itu?" tiap melihatmu, ternyata nyaris kau rasakan juga.
Kedua, Aku cemas.
Karena sebenarnya, akupun tak seputih yang kau kira. Aku cemas ekspektasimu akanku, kelak menghancurkan apa yang telah kita punya. Aku cemas jika kau mengenal sisi gelapku, kau akan serta merta melenggang pergi menjauh.
Aku cemas pada kecemasanku.
Semoga kecemasanku tidak beralasan,
Kepada kamu,
Pria Pertama.
Kamu selalu saja bisa menjadikan sepikanku bahan sepikan balik. Dasar cerdas!
Seseorang pernah memberitahuku, "pria tampan membuka matamu, pria cedas membuka pikiranmu, pria sejati membuka hatimu."
Sayangnya aku lupa bertanya, bagaimana jadinya jika aku bertemu pria yang punya semuanya? ;)
Kepada kamu,
Pria Tunggal.
Kita selalu saja mendebatkan segala hal. Dan aku, (kau sudah tau) lahir sebagai pemenang.
Tapi tahukah kamu? Kadang, setelah aku memenangkan perdebatan kita yang bahkan tak kau lombakan. Aku tak henti berpikir.
Semua argumenmu seolah merasuk dalam aliran nadiku menuju cerebrum.
Dan demi semesta, aku benci mengakui bahwa kau, mungkin saja, separuh benar. (jangan paksa aku mengakuinya sekali lagi)
Kemudian diatas segala pesan samar yang kau sampaikan dalam surat terakhirmu,
Aku akan tetap menjadi aku yang mencintaimu tanpa pertimbangan.
Terlepas izinmu mengiringiku atau tidak.
Kepada kamu,
Pria Satu-satunya Nomor Satu.
Aku tersanjung sekaligus cemas atas isi suratmu kemarin yang mengatakan akulah petunjukmu.
Pertama, aku tersanjung.
Karena ternyata hatiku yang berujar "Tuhan, Kaukah itu?" tiap melihatmu, ternyata nyaris kau rasakan juga.
Kedua, Aku cemas.
Karena sebenarnya, akupun tak seputih yang kau kira. Aku cemas ekspektasimu akanku, kelak menghancurkan apa yang telah kita punya. Aku cemas jika kau mengenal sisi gelapku, kau akan serta merta melenggang pergi menjauh.
Aku cemas pada kecemasanku.
Semoga kecemasanku tidak beralasan,
Semoga kecemasanku hanya akan menjadi kecemasan yang akan kutertawakan kelak dibalik selimut, di dalam dekapmu.
Karena sejujurnya, dibalik semua rasa cemas, jengah, takut, dan galau yang aku rasakan tiap bersamamu, jauh di dalam hati, aku benci mengakui, bahwa sebelumnya;
aku belum pernah sejatuh cinta ini.
regards,
Pemburu Hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar