Kepada kamu,
Ksatria di Semesta Hatiku.
Entah darimana surat ini hendak ku mulakan.
Aduh, jangan senyum, tunggu, aku belum siap! Ah, itu cahaya dalam mata kamu tolong redupkan sedikit. Nah iya. Sekarang sedikit lebih baik.
Awal surat yang kikuk sepertinya, aduh jadi ingat bagaimana kita bermula. Apa dulu aku sekikuk ini juga? Ah..
Baiklah mungkin itu memang keahlianku, atau mungkin itu efek dari tatapanmu. Siapa suruh melelehkanku. Iya, sepertinya memang salahmu. Hahaha, Ingat? aku tidak suka salah maupun kalah!
Pasti sekarang kamu sedang tersenyum, tidak, aku tidak ingin membayangkan mungkin kamu sekarang sedang menertawakan surat ini dengan berpikir "dasar tukang sepik!" jadi aku lebih memilih mengira kau sedang tersenyum. Ya, cukup. Aku jelas menyalahkanmu kalau sampai penyakit diabetes menyerangku. ;)
Baiklah, cukup basa-basinya. Setelah paragraf ini, izinkan aku menceritakan tentangku, sebagian aku yang mungkin belum cukup kau kenal.
Beberapa kali kita mendebatkan tentang apa itu Cinta.
Hingga hari ini aku telah sampai pada titik mempercayai bahwa Cinta itu, tahan menderita.
Ya, Cinta itu tahan menderita.
Membisikkan gema kebencian terbang bersama marahku dan dengung
doa seolah meraung di telingaku sendiri.
Aku sempat lupa,
Ada foto tua di linimasa, yang kepadanya aku merasa begitu tak berharga,
lalu bertepuk tiga kali sebelum menikmati luka. Bahagiamu yang sempat karenanya.
Aku memejamkan mata sambil membayangkanmu tersenyum begitu bahagia,
meski aku tak sedang bersamamu.
"Tak mengapa" - sangakalku.
Seolah jarak bukan lagi jerat, bukan sebuah sekat yang membuat
kita merasa sakit dalam keterasingan dan sepi.
Tersisih dari riuh kata-kata rindu, dan terpilih sebagai anak-anak piatu.
Walaupun aku sempat merasa jauh hingga mulai merintih, berseru - atau mengaduh?
Seperti merasakan sakit yang belum juga mau sembuh.
Ingat, aku pernah menjanjikan akan menyembuhkan luka hatimu perlahan?
Tapi kau tak pernah menyadari, jika aku mampu menyembuhkan luka hati, tentu yang seharusnya kusembuhkan bukanlah milikmu atau orang lain.
Kepada S.
Aku terpikat pada jigsaw puzzle yang kau punya, dosakah aku menginginkannya untukku dan mengingkarkan ia yang melingkarkan janji di tanganmu?
Hari ini saja, izinkan aku menikmati dosaku tanpa rasa bersalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar